Tubuh Terjual

 

Di kampung kecil bernama Wae Lala, pagi hari datang perlahan, seperti embun yang malu-malu jatuh di atas daun kelapa. Gadis-gadis tumbuh bukan dari cermin dan lipstik, tapi dari bau tanah basah, tenunan ibu, dan lagu lama yang dinyanyikan sambil memikul air.”

     Nona, si sulung dari dua bersaudara, anak dari Mama Thelma. Ia bukan perempuan yang manja. Sejak umur sepuluh tahun, sudah biasa bantu tenun dan angkut air dari kali. Ia tumbuh dari tanah, dari anyaman daun lontar, dan dari doa-doa panjang yang Mama bisikkan di dapur.

Cuma satu hal yang Nona impikan: bisa kerja, lalu bangun rumah kecil untuk Mama. Rumah beratap seng baru, bukan yang selalu bocor waktu hujan datang.

      Suatu sore yang panasnya mulai jinak, ketika ayam sudah pulang kandang dan bayangan pohon sukun mulai memanjang di halaman, datanglah satu perempuan dari kota. Bajunya rapi, rambutnya lurus panjang, bibir merah menyala, bau tubuhnya harum seperti sabun toko. Namanya Kak Vivi, begitu ia memperkenalkan diri. Ia datang naik mobil bersama laki-laki sopir. Ia bilang ada lowongan kerja di Jakarta—toko roti butuh karyawan. “Kerja ringan saja, Nona tinggal jaga etalase, bantu bungkus roti. Makan disiapkan, tidur enak. Gaji dua juta lebih. Bisa kirim tiap bulan buat Mama,” katanya, sambil senyum manis dan tunjuk gambar toko dari HP-nya. Nona yang selama ini cuma bisa bantu Mama tenun dan jaga kebun kecil, mulai terbayang: Mama bisa berhenti kerja, rumah bisa diganti atap seng, dan adik bisa dibelikan sepatu.

Malam itu, Nona minta izin.

“Mama... beta pikir ini jalan dari Tuhan. Beta bukan mau senang-senang. Beta cuma mau Mama tidak susah terus.”

Mama Thelma diam lama. Matanya pandang gelap malam, seolah sedang bercakap dengan bintang.

“Nona, ko ingat baik... Jakarta itu bukan kampung. Di sana, kalau salah langkah, orang tidak pulang. Tapi kalau hati ko bulat, beta hanya bisa titip satu pesan—jangan lupakan doa.”

Mereka peluk lama malam itu. Seolah firasat hujan sudah turun di hati ibu.

Pagi esoknya, Nona naik mobil bersama Kak Vivi. Ia tidak tahu, jalan panjang itu bukan membawa dia ke toko roti, tapi ke tempat di mana tubuh orang bisa jadi barang dagangan.

   Perjalanan ke kota tak semanis janji. Sampai di Jakarta, Nona dan tiga perempuan kampung lainnya dibawa ke rumah besar. Tapi rumah itu bukan toko roti. Tidak ada oven. Tidak ada roti. Hanya kamar gelap, jendela tertutup, dan bau obat yang menyengat.

Hari pertama, mereka dilarang keluar. Hari kedua, diberi makan satu kali saja. Hari ketiga di kota, baru subuh-subuh buta, suara langkah keras masuk ke kamar. Seorang laki-laki tinggi besar datang—pakai masker, sarung tangan, dan bau aneh seperti obat rumah sakit. Nona belum sempat bertanya, tangannya sudah ditarik.

“Nona, cepat. Ganti baju. Ko duluan,” kata perempuan itu, Kak Vivi, tak lagi tersenyum manis seperti waktu di kampung.

“Ko bilang toko roti... beta mau pulang...” suara Nona gemetar.

“Terlambat,” jawabnya dingin.

Nona dibawa masuk ke ruangan sempit yang temboknya putih dan dingin, ada lampu bulat besar di atas, menyala silau. Tubuhnya mulai gemetar, kaki lemas. Ia coba lawan. Tapi dua tangan memegang kuat bahunya, satu lagi suntikkan cairan ke lengannya.

“Mama... Mama...” itu kata terakhir dari mulutnya sebelum matanya tertutup.

Sebelum gelap sepenuhnya, ia sempat lihat alat-alat tajam seperti pisau tukang daging, suara alat berdenting, dan bau besi bercampur darah.

Setelah itu gelap.

Ketika bangun, perutnya sakit luar biasa. Jahitan kasar melintang di sisi kanan perutnya. Ia menangis, memanggil mama, tapi tak ada yang menjawab. Di kamar sebelah, suara tangis perempuan lain menyusul. Tubuhnya berat seperti dipikul batu. Perutnya nyeri, perih, seperti disayat. Di sisi kanan, ada perban tebal. Tangis Nona keluar tanpa suara. Ia pegang perutnya dan tahu, sesuatu dari dirinya telah hilang.

Ia bukan Nona yang sama lagi. 

.

Ia terbangun dua hari kemudian. Badannya sakit, perutnya dijahit kasar. Air mata keluar terus-menerus. Ia memanggil mama, tapi tak ada yang jawab. Suara tangis dari kamar sebelah terdengar lirih. Mereka semua korban. Tubuhnya yang lemah dibuang begitu saja di pinggir jalan dekat terminal. Pakaiannya robek, perut berdarah, bibir pecah. Tak ada yang peduli. Mobil lalu-lalang. Orang jalan kaki hanya melirik dan buru-buru pergi. Sampai akhirnya, sopir truk tua bernama Om Umar berhenti. Ia bawa Nona ke rumah penampungan milik suster Katolik di pinggiran kota. Di sana, ia dirawat. Suster-suster membersihkan lukanya, beri bubur, dan doakan tiap malam. Tapi luka di hatinya jauh lebih dalam dari luka di perut.

Selama dua bulan, Nona diam saja. Tak mau bicara. Hanya tatap jendela. Suster bilang, “Dia sudah sembuh, tapi hatinya belum kembali.”

---

Sementara itu, di Wae Lala, Mama Thelma gelisah. Tak ada kabar. Tak ada uang datang. Angin kampung mulai berbisik. Ada yang bilang Nona kerja di hotel, ada yang bilang dibawa pacar. Tapi Mama tidak percaya.

Suatu malam, ia duduk di beranda dan bilang pada langit:

“Kalau Nona masih hidup, tunjukkan beta jalan.”

Besoknya, Mama jual dua kain tenun dan satu babi. Ia naik oto ke kota kabupaten, lalu sambung bus ke Surabaya, lalu lanjut ke Jakarta—sendirian, tak tahu alamat, hanya bawa foto Nona dan nama samar Kak Vivi.

Ia tidur di terminal, makan nasi bungkus dua ribu, tanya-tanya orang di pinggir jalan. Setelah dua minggu, ia sampai ke rumah penampungan karena dapat informasi dari sopir truk yang kenal Om Umar.

Dan di sanalah, ia lihat Nona duduk di bawah pohon besar, mata kosong, peluk perut sendiri.

“Nona...” suara Mama seperti angin hujan pertama.

Nona pelan-pelan menoleh. Ia berdiri lemah, lalu peluk Mama kuat-kuat. Tangis meledak seperti bendungan jebol.

"Mama... beta tidak pulang utuh."

Mama cuma peluk dia lebih kuat.

---

Sekarang, Nona tinggal kembali di Wae Lala. Ia tidak banyak bicara. Tak pernah lagi mimpi bangun rumah besar. Tapi tiap sore, ia ajar anak-anak baca tulis, ajak mereka bernyanyi, dan cerita tentang pentingnya menjaga tubuh sendiri.

Kadang ia duduk di beranda, pandang jalan panjang ke arah luar kampung.

Kalau ada yang tanya, “Nona, ko tidak mau ke kota lagi?”

Ia hanya senyum tipis dan jawab,

“Beta sudah titip satu bagian hati di sana... tapi hati itu tidak pernah kembali.”


#danke


catatan:

"Ko": sapaan dari kata "kau" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).

"Beta": sapaan dari kata "saya" dalam bahasa in-formal orang Timor.

"Su": sapaan dari kata "sudah" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).




Komentar

Postingan Populer