Dibayar Luka

"Kadang, luka yang paling lama tinggal dalam tubuh perempuan bukan pukulan pertama, tapi diam panjang yang dipelajari sejak kecil: bahwa perempuan harus tahan. Tahan demi nama keluarga. Tahan demi belis. Tahan demi malu yang tak pernah mereka bawa sendiri."
Semua orang di kampung tahu bahwa belis untuk perempuan dari suku Wairnawa tidaklah kecil. Sepuluh ekor kerbau, lima belas lembar kain, sebilah parang tua, dan emas sulam dari Timor. Itu belum termasuk rokok, sirih pinang, dan arak bagi sanak keluarga dan demi semua itu, Emi diserahkan. Waktu itu Emi belum genap delapan belas. Baru saja lulus SMA dan mimpi pergi ke Kupang untuk belajar keperawatan. Tapi mimpi tidak selalu dilahirkan dalam rumah yang percaya pada perempuan. Di rumah Emi, suara perempuan seperti bisik yang cepat ditiup angin.
Saat dipanggil keluar dari dapur, ketika ibunya dengan mata sembab berkata, “Ko jadi milik Aman Berto.”
Emi tunduk, tak sempat bertanya apa-apa. Di luar rumah, suara gong dan gonggongan anjing bersahut-sahut. Ia digandeng ke halaman, dikenalkan dengan laki-laki berumur tiga puluh sembilan, perutnya gendut, bibirnya tebal, dan tangan kasarnya menggenggam segenggam rokok linting.
Belis datang seperti kabar baik. Berto, anak kepala dusun sebelah membawa enam belas ekor babi, dua karung beras, satu parang berhiaskan kuningan, dan uang tunai sepuluh juta. Semua orang bersorak. Mama Lina menangis bahagia. Emi hanya diam. Ia tidak diberi waktu memilih. Belis telah menulis masa depannya.
Pernikahan dilangsungkan cepat. Sehari setelah upacara, Emi dibawa ke rumah Berto. Malam itu, tubuhnya yang kurus dan gemetar menjadi bukti: ia bukan istri, ia hanya milik. Pernikahan Emi adalah pesta yang gemuruh, tapi malam pertamanya adalah tangis yang tercekat. Tiga malam berturut-turut ia menangis diam-diam. Tubuhnya remuk. Tapi orang-orang rumah bilang:
“Namanya istri, ko su dibayar mahal. Jangan bikin malu keluarga.”
Hari-hari berikutnya tidak lebih baik. Aman Berto mabuk hampir tiap malam, pulang bawa suara keras, dan tangan yang tak kenal sabar. Jika Emi lambat menyuguhkan kopi, ditampar. Jika pakaian tak kering, dilempar. Bahkan waktu Emi hamil empat bulan dan tak kuat angkat air, ia diseret keluar dapur, dijambak dan dipukul. Anak yang dikandungnya hilang malam itu. Tapi tidak ada yang menyalahkan suaminya.
“Itu harga dari belis. Dia punya hak penuh atas ko,” kata bibi tua yang dulu ikut hitung kerbau.
Emi ingin lari. Tapi ke mana? Ibunya sendiri bilang:
“Ko mau kami kembalikan semua belis itu? Kami ini bukan orang kaya.”
Jadi ia tetap tinggal. Seperti tikar yang diinjak setiap hari, dan tak pernah pindah. Ia belajar tidak menangis, tidak bicara banyak, dan tidak berharap. Malam-malamnya menjadi diam yang panjang. Ia hanya bicara dengan kucing dapur dan salib kecil di atas altar rumah.
Sampai suatu pagi, tetangga menemukan Emi tergeletak di halaman, darah di mulut, mata lebam. Tapi ia masih hidup. Dan hari itu, untuk pertama kalinya, ia berkata:
“Saya lebih baik mati daripada dibayar untuk disiksa.”
Polisi datang. Aman Berto ditangkap. Tapi di kampung, suara-suara mulai menyebar:
“Ko su istri, sabar sa.”
“Dia juga laki-laki, dia bayar besar.”
“Perempuan harus tahu diri.”
Tahun-tahun berlalu seperti langit mendung yang tak kunjung hujan. Berto kerap pulang mabuk. Tangannya lebih suka bicara lewat tamparan dan tendangan daripada kata. Setiap malam, Emi menyeka luka. Tapi esok paginya ia tetap masak, tetap cuci baju, tetap tersenyum di depan tetangga.
Ia tak berani bicara. Sekali waktu, ia pernah mencoba mengadu ke Mama Lina.
“Mama, dia pukul saya tiap malam. Saya sudah tidak tahan lagi…”
Tapi jawaban ibunya hanya satu:
“Ko jangan bikin malu keluarga. Berto itu suami sah. Ko pigi, artinya ko rusak nama kita. Ko harus tahan. Kan sudah dibayar.”
Kata-kata itu seperti batu yang menghantam dada. “Sudah dibayar.” Seolah belis adalah kunci penjara yang tak bisa dibuka. Emi menelan tangis dan pulang ke rumah itu—rumah yang setiap sudutnya berbau darah dan sabar.
Sampai suatu malam, tubuhnya benar-benar tumbang. Berto mendorongnya dari tangga saat mabuk. Kaki Emi patah. Ia dirawat tiga hari di rumah sakit. Perawat muda dari kota melihat luka-luka di tubuhnya dan bertanya pelan:
“Kakak, ini bukan jatuh biasa, kan?”
Mata Emi basah. Ia hanya menjawab, “Saya tidak kuat lagi.”
Dan untuk pertama kalinya, ia kabur. Dengan bantuan perawat dan satu suster, Emi disembunyikan. Lalu dijemput sebuah lembaga sosial dan dibawa ke kota.
Kini Emi tinggal di rumah penampungan di kota. Ia mengajar menjahit untuk anak-anak muda yang ingin belajar. Rambutnya dipotong pendek, dan ia sering memakai baju batik yang dijahitnya sendiri. Luka di tubuhnya mulai sembuh, tapi bekasnya menetap seperti motif tenun yang tidak bisa dihapus.
Saat ditanya apakah ia ingin menikah lagi, Emi hanya tertawa kecil dan berkata:
“Kalau nanti, seseorang datang tanpa bawa kerbau… hanya bawa hati yang tenang, saya mungkin bisa pikir ulang.”
Dan begitulah, kadang belis memang membayar tubuh, tapi tak pernah bisa membeli jiwa yang terluka.
Di kota, ia bertahan hidup dari kerja cuci rumah. Ia belajar menjahit, belajar membaca berita di ponsel bekas, dan sedikit-sedikit mulai bicara.
Dari diamnya yang panjang, Emi pelan-pelan menemukan suara.
Sore itu, langit Maumere berwarna perak redup. Emi duduk di teras rumah penampungan dengan secangkir kopi hangat di tangan. Di hadapannya, berdiri seseorang yang tak pernah ia duga akan datang: ibunya sendiri, Mama Lina.
Rambut Mama Lina kini lebih putih, kulitnya lebih kendur, dan matanya tak bisa disembunyikan tangisnya.
“Mama datang bukan untuk marah,” kata Mama Lina pelan, “Mama datang karena rindu. Dan karena ko benar, Emi.”
Emi tidak langsung bicara. Ia menatap wajah perempuan yang pernah menyerahkannya demi nama baik keluarga. Ia mengingat semua luka, tetapi juga semua pelukan masa kecil.
“Mama tahu ko luka karena Mama,” suara itu gemetar.
“Tapi waktu itu... kami pikir, belis itu perlindungan.”
“Kami tidak tahu, ko malah dikunci dalam kandang kekerasan.”
Emi akhirnya menangis—bukan karena benci, tapi karena hatinya tak bisa lagi memikul beban dendam yang terlalu lama dibiarkan dingin.
“Saya ampuni, Ma. Tapi ini bukan cuma soal beta. Di kampung, masih banyak nona-nona yang sebentar lagi akan dijual dengan belis," dari situ, langkah Emi berubah.
Dua bulan kemudian, Emi pulang kampung. Tidak lagi sebagai istri Berto, tapi sebagai pendiri “Uma Ina”—rumah belajar dan perlindungan bagi anak perempuan yang hampir dinikahkan muda. Di sana, ia mengajar menjahit, membaca, dan kadang—diam-diam—mengajari mereka untuk berkata “tidak”.
Banyak yang mencibir di awal.
“Dia pung mulut sekarang besar, karena sudah rasa kota.”
“Anak perempuan itu memang harus nikah muda. Supaya jaga malu.”
Tapi Emi tak gentar. Ia percaya, waktu akan bicara. Ia percaya, luka yang disembuhkan bisa jadi pelita.
Suatu malam, seorang gadis bernama Lila datang lari ke Uma Ina. Wajahnya penuh air mata. Ia baru saja dijodohkan dengan paman jauh yang sepuluh tahun lebih tua. Emi menampungnya, memberi selimut dan teh hangat. Lalu berbisik:
“Kalau ko siap bicara, saya akan berdiri di samping ko.”
Malam itu, Emi duduk di beranda, menatap bulan naik di langit. Ia tahu, tak semua luka bisa dihapus. Tapi sekarang, luka itu bisa disuarakan. Bisa diajarkan jadi pelindung bagi sesama.
Jauh di hatinya, ia tahu: Ia telah menang—bukan dengan membalas, tapi dengan menyembuhkan.
#danke
catatan:
"Ko": sapaan dari kata "kau" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).
"Beta": sapaan dari kata "saya" dalam bahasa in-formal orang Timor.
"Su": sapaan dari kata "sudah" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).
Komentar
Posting Komentar