Toko Kenangan

 


“Beberapa orang rela kehilangan yang nyata demi menghidupkan kembali yang hanya bisa dikenang.”
       Itu kalimat yang terpasang di pintu kayu tua, bertinta emas, agak miring, di depan sebuah bangunan kecil di Desa Lelata—sebuah desa terpencil di balik perbukitan, jauh dari sinyal ponsel dan gemuruh dunia luar. Tak ada yang tahu siapa pemilik bangunan itu. Terkadang tampak seperti warung biasa. Terkadang seperti rumah tua yang ditinggal penghuninya. Tapi setiap malam, ketika bulan naik tinggi dan angin berhembus pelan, lampu temaram di dalamnya menyala, dan papan nama kayu itu menggantung malu-malu: Toko Kenangan. Desas-desusnya, toko itu menjual kenangan. Tapi bukan dalam bentuk buku harian atau foto tua. Kenangan di sana adalah potongan rasa yang bisa kau rasakan kembali. Suara tawa ibu, aroma rambut kekasih lama, pelukan terakhir dari ayah, bahkan momen-momen kecil seperti ketika kau belajar naik sepeda dan jatuh di pelukan seseorang.
Namun, satu syarat berlaku: setiap kenangan yang dibeli harus dibayar dengan satu kenangan lama yang dikorbankan—untuk selamanya.
      Malam itu, Dara datang. Usianya tiga puluh lebih sedikit, langkahnya ragu-ragu. Sudah bertahun-tahun ia membawa rindu pada suara tawa adiknya, Riko, yang meninggal karena demam berdarah saat masih kecil. Ia ingin sekali mendengar tawa itu lagi—sejenak saja, walau nanti harus membayar mahal.
Ketika ia mendorong pintu, lonceng kecil berdenting lembut.
"Selamat datang," ujar seorang perempuan tua di balik meja kayu. Suaranya lembut, seperti daun jatuh ke tanah.
"Benarkah... toko ini menjual kenangan?" tanya Dara.
"Ya. Tapi kau harus rela kehilangan satu kenangan yang lain. Tak bisa ditukar kembali."
Dara terdiam. Matanya menyapu ruangan yang penuh botol kaca, masing-masing berisi cahaya samar. Beberapa berwarna keemasan, beberapa kebiruan. Di tiap botol ada label tulisan tangan: ‘Pelukan pertama Ibu’, ‘Tawa di hari kelulusan’, ‘Suara ayah menyanyi’, ‘Ciuman pertama di taman belakang’.
“Aku ingin... tawa adikku. Yang dulu sering dia lepaskan waktu kami main ayunan di belakang rumah. Bisa?”
Perempuan itu mengangguk. Ia mengambil sebuah botol kecil dengan cahaya kuning cerah dan menggoyangnya perlahan. Ruangan seketika diisi suara: tawa riang, murni, dan familiar—tawa Riko. Dara menutup mata, napasnya tercekat.
"Bayarnya?"
"Satu kenangan. Pilih yang akan kau tinggalkan selamanya."
Dara menghela napas. Ia menatap rak-rak kaca dan akhirnya menunjuk: “Hari saat aku lulus kuliah.”
"Tentu?" tanya sang penjaga.
Dara mengangguk pelan.
Perempuan tua itu mengambil botol biru keabu-abuan, membuka segel lilin, dan meniupkannya. Seketika, sesuatu dari dalam dada Dara seperti diangkat—kosong. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi di hari wisuda itu, tapi... tak ada. Kosong. Ia tahu pernah ada rasa bangga, tapi wajah-wajah, suara riuh, nama universitas… semuanya menguap.
Sebagai gantinya, ia memeluk botol kenangan Riko, tawa itu kembali mengisi ruang hatinya yang lama beku.
       Sejak malam itu, Dara sering kembali. Ia menukar satu demi satu kenangan: kado ulang tahun dari kekasih lama ia tukar dengan kenangan bermain layang-layang bersama ayah. Ciuman pertama ia tukar dengan hari ia belajar masak bersama ibunya. Perlahan, hidupnya jadi museum kenangan yang ia pilih ulang—tapi juga menjadi rumah kosong dari banyak hal yang dulu membentuk dirinya.
Suatu malam, ketika ingin menukar kenangan terakhirnya, perempuan tua itu berkata:
"Anak muda, kenangan bukan untuk dikurasi seperti barang antik. Kadang kenangan buruk pun perlu disimpan. Ia yang membuatmu jadi utuh."

Dara diam. Ia pulang malam itu tanpa menukar apapun. Tapi di sepanjang jalan, ia merasa kehilangan—seakan hidupnya bukan lagi miliknya. Ia tahu aroma ibu, suara ayah, dan tawa adik kini tinggal dalam botol-botol cantik. Tapi bagian lain dari dirinya... menguap. Ia tak ingat kenapa ia memilih jurusan kuliah, siapa teman masa kecilnya, bahkan bagaimana rasanya dipeluk seseorang setelah menangis.

Toko Kenangan tetap berdiri. Lampunya tetap menyala. Tapi Dara tak kembali lagi. Ia akhirnya sadar: kenangan bukan untuk dibeli atau dibuang. Tapi untuk dikenang—meski kadang menyakitkan, meski kadang cuma bisa dibiarkan diam dalam hati.

#danke


Komentar

Postingan Populer