Rumah Retak
“Orang bilang rumah adalah tempat pulang. Tapi di dusun kecil bernama Baonara, anak-anak belajar bahwa kadang rumah justru tempat luka pertama lahir, tumbuh, dan tak pernah sembuh.”
Santi duduk di bawah pohon kenari, matanya menatap kosong ke arah laut. Usianya baru lima belas, tapi tubuh dan wajahnya seperti menanggung usia tiga puluh. Di tangannya tergenggam selembar surat dari Mama, yang baru kemarin dibawa angin lewat om Toni, tukang ojek langganan.
"Santi, maafkan Mama. Mama harus pergi. Bukan karena kamu. Tapi karena Papa sudah terlalu sering menyakiti. Jaga dirimu, Mama sayang kamu."
Surat itu lusuh, seperti hatinya.
Kampung sudah lama tahu rumah Santi retak. Tapi tak semua peduli. Papa-nya, seorang nelayan keras kepala, dulu lelaki baik—sampai arak jadi teman malam dan kata-kata kasar jadi bahasa sehari-hari.
Santi sering sembunyi di kandang babi tiap Papa pulang malam. Ia tahu, tiap derap kaki berat dan suara pintu dibanting, artinya malam akan diisi dengan jeritan. Kadang suara piring pecah, kadang suara Mama menangis tercekik.
Dulu, sebelum Mama lari dari rumah, Santi sering lihat bagaimana perempuan itu dijadikan tempat pelampiasan marah. Bukan marah karena lapar atau capek melaut, tapi marah yang tidak tahu asalnya. Kadang hanya karena nasi terlalu lembek, kadang hanya karena Mama tidak sempat menyambutnya di pintu.
Papa lempar piring. Kadang galon. Kadang caci maki begitu kasar sampai Santi tak berani mengulangnya dalam hati. Ada malam-malam di mana Mama hanya bisa menahan air mata sambil duduk di dapur yang gelap, sedangkan Papa dengkur di ruang tengah dengan botol kosong di sampingnya.
Santi pernah lihat tangan Mama lebam. Pernah dengar suara tamparan dari balik kamar. Tapi kalau ditanya, Mama cuma bilang, “Beta jatuh.” Dan pagi-paginya, ia tetap masak bubur untuk mereka berdua, seolah luka bisa dimakan habis dengan cinta.
Tapi cinta tidak selamanya cukup.
Pada suatu malam yang paling sepi, ketika hujan turun seperti amarah langit, Mama pergi. Tak ada suara pamit, hanya surat yang basah sedikit karena air hujan dan air mata.
Dan sejak hari itu, Santi sendirian di rumah itu. Tapi rumah itu bukan rumah lagi. Ia jadi neraka kecil di ujung kampung.
Papa yang dulu masih bisa ditahan Mama, kini tak ada lagi penghalang. Ia mulai pukul Santi kalau air tidak disiapkan. Bentak kalau nasi belum matang. Lempar sendal, sabuk, bahkan kadang hanya karena suara ayam tetangga terlalu bising.
“Ko anak perempuan tidak berguna! Sama seperti Mama ko!” begitu teriaknya suatu malam.
Santi hanya diam. Luka di tangannya dari sambaran sabuk belum kering, tapi hatinya jauh lebih luka dari itu.
Yang lebih sakit, ketika tetangga hanya bilang, “Itu urusan rumah tangga, kita jangan ikut campur.”
Ia bangun tiap pagi dengan napas berat. Bukan karena malas hidup, tapi karena tidak tahu apakah hari itu akan jadi hari di mana dirinya dipukul lagi, atau hari di mana ia bisa lari sejenak ke hutan belakang dan menangis sendirian.
Tapi di balik semua itu, Santi simpan satu hal: ia tidak pernah balas benci dengan benci. Ia hanya simpan luka itu seperti simpan bara dalam dada, yang pelan-pelan ia sulap menjadi keberanian untuk hidup.
Sejak Mama pergi, hidup Santi ibarat jalan setapak di tepi jurang—sempit, licin, dan sunyi. Tak ada lagi yang masak sarapan. Tak ada lagi yang cuci seragam. Semua harus dia kerjakan sendiri, sambil menahan hati yang tiap hari digerus amarah Papa. Untuk makan, Santi tanam ubi di kebun kecil peninggalan Mama. Kalau musim kering, ia cari daun kelor, rebus dengan garam, lalu makan dengan nasi basi sisa malam. Ia belajar menjahit sendiri, belajar menambal bajunya yang robek, belajar memotong rambutnya sendiri dengan gunting tumpul dari warung tetangga. Pagi-pagi, sebelum ayam bangun, ia sudah di pancuran. Air dingin itu sering jadi satu-satunya yang membuatnya merasa hidup. Lalu ia bantu tetangga cuci piring atau sapu halaman, asal bisa dapat sekepal nasi atau sedikit uang jajan. Ia tak pernah lagi ke sekolah sejak kelas dua SMP. Bukunya dijadikan alas piring di dapur, seragamnya dipakai tidur. Tapi Santi tak buang buku itu. Ia baca diam-diam di bawah lampu minyak tiap malam, seolah dengan membaca, ia bisa merawat sisa-sisa mimpi Mama. Kalau malam Papa pulang dengan tubuh berat dan bau arak, Santi sembunyi di kolong tempat tidur. Kadang tidur di kandang ayam. Kadang di dangau kebun pisang. Di sanalah ia belajar bahwa ketakutan bisa jadi teman yang sunyi tapi setia.
Namun justru dari semua itulah, Santi jadi kuat. Ia tahu rasa lapar, tahu rasa dipukul, tahu rasa tak dianggap. Tapi ia juga tahu rasa bertahan, rasa menunggu pagi, dan rasa bersyukur meski hanya dengan secangkir air garam. Orang-orang baru mulai bertanya, “Kasian itu anak, Mama-nya lari. Tapi ya memang... perempuan itu terlalu banyak mau.”
Tak ada yang tanya bagaimana hati Santi.
Tak ada yang tahu, malam-malam ia peluk baju Mama yang tersisa di lemari.
Tak ada yang paham, bahwa tiap pagi ia bangun bukan karena semangat, tapi karena tanggung jawab kasih.
Santi mulai kerja jual kue di pasar. Ia berhenti sekolah. Teman-temannya mulai lupa memanggil namanya. Ia hanya dipanggil “anak dari rumah retak itu.”
Tapi Santi bertahan. Ia mulai menulis puisi di kertas bekas pembungkus kue. Tentang laut, tentang luka, dan tentang rindu yang tak pernah pulang.
Suatu malam, waktu bulan terang sekali dan suara jangkrik terdengar seperti lagu lama, Santi duduk di halaman rumah dan berkata pada angin:
“Beta tidak bisa perbaiki rumah yang sudah retak. Tapi beta bisa bangun hati baru... tempat beta bisa sembunyi, bertumbuh, dan maafkan semua.”
Dan malam itu, ia tidur tanpa menangis.
Komentar
Posting Komentar