MAMA TINA
“Ada orang yang tidak mati, tapi dikuburkan setiap hari lewat omongan.”
Angin sore berembus malas di antara rumah-rumah berdinding papan tua. Kampung Nira nampak tenang dari luar, tetapi dalam hati warganya, ada riuh yang tak pernah benar-benar diam. Seperti namanya yang sunyi, begitu pula hidup seorang perempuan yang tak pernah disapa lagi: Mama Tina.
Ada perempuan-perempuan yang lahir dari hujan, membawa harum tanah basah dan tangis yang tak pernah diperdengarkan. Ada pula yang dilahirkan oleh sepi—dan menjadi bagian darinya.
Mama Tina adalah yang kedua.
Di kampung itu, ia berjalan seperti bayangan. Tubuhnya kurus, langkahnya ringan, dan matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak: luka, rindu, atau kutukan. Ia tinggal sendiri di rumah tua berdinding bambu, paling ujung dari dusun yang setiap malam hanya diterangi lampu petromaks dari rumah kepala kampung. Setiap pagi, Mama Tina menyapu halaman, duduk di batu besar di bawah pohon sukun, dan menatap jauh ke arah kampung. Seperti menanti seseorang, atau mungkin menanti waktu. Ia jarang bicara, lebih sering mengangguk, atau menyunggingkan senyum kecil yang sulit dimengerti—antara tulus atau getir. Orang-orang bilang, setiap kali Mama Tina lewat jalan tikus belakang gereja, ayam mati, anjing melolong, dan hujan datang mendadak. Sudah lima orang meninggal tahun ini. Dan setiap jenasah yang diusung ke pemakaman, selalu diikuti bisik-bisik: "Itu pasti karena dia."
"Mama Tina, pembawa bala."
Anak-anak kecil dilarang lewat depan rumahnya. Kalau pun mereka berani bermain layang-layang di halaman rumput kosong itu, pasti akan ada ibu yang datang dengan suara keras, “Saya su bilang jangan main di sini! Kamu mau disumpah mati kah?”
Mama Tina diam saja. Ia hanya menatap dari balik jendela rumah reyot peninggalan orangtuanya. Tak pernah marah. Tak pernah menjawab. Sehari-hari ia hidup dengan kebun kecil di belakang rumah, sepiring nasi, dan air panas. Kadang, ayam kurus peliharaannya menjadi satu-satunya teman bicara. Namun, tidak selalu begini hidupnya. Tina muda dulu adalah harapan dusun. Baru pulang dari kota setelah ikut pelatihan bidan. Ia kembali dengan segenggam ilmu dan hati yang besar. Orang-orang dulu memujinya, “Anak perempuan yang bikin bangga.” Bahkan kepala dusun waktu itu menyambutnya dengan ucapan, “Dusun ini su ada penyelamat.”
Tapi harapan bisa berubah jadi luka.
Belasan tahun lalu, Mama Tina bukanlah bayangan. Ia periang, gadis muda yang baru kembali dari kota setelah menyelesaikan pelatihan bidan. Ia pulang dengan semangat: ingin merawat kampungnya, ingin membantu para mama melahirkan tanpa takut, tanpa harus menunggu mobil dari puskesmas kecamatan. Saat itu, belum ada bidan desa. Ia sendirian, dengan pengetahuan dan keberanian, membawa minyak kelapa buatan sendiri, daun-daun obat yang ia pelajari, dan doa dalam hati.
“Kalau su sakit, panggil Tina,” begitu kata orang-orang. Ia dielu-elukan. Dibanggakan. Bahkan Ama Kepala Kampung waktu itu sempat berkata, “Kamu ini cahaya untuk dusun ini.”
Hingga suatu malam hujan besar datang. Air mengalir deras, petir menyambar. Seorang ibu muda—Nela—mulai merintih kesakitan. Suaminya lari memanggil Mama Tina. Tina datang dengan tergesa, membawa tas kain dan semangat yang tak gentar. Tapi malam itu, semua tak seperti biasanya. Bayi itu keluar dengan tali pusar melilit leher. Dan ibu itu berdarah terlalu banyak. Ia berusaha sekuat tenaga. Tapi saat fajar menyingsing, ibu itu meninggal. Bayinya pun diam tak menangis. Kampung berduka. Tapi duka tak butuh logika. Orang-orang tak melihat hujan. Tak melihat jalanan becek yang membuat Tina terlambat tiba. Tak melihat ia sudah berusaha dengan segala cara. Mereka hanya melihat dua mayat, dan satu bidan muda yang menangis sambil mencuci tangan dengan air hujan.
Keesokan harinya, seseorang menempel tulisan di pintu rumahnya:
"Tina pembawa maut. Tidak suci."
Sejak itu, satu per satu menjauh. Tak ada lagi yang memanggilnya saat melahirkan. Bahkan anak-anak yang pernah ia tolong kini memanggilnya dengan ejekan: "SUANGGI."
Pagi harinya, semua orang mengangkat jari ke arah Tina.
"Karena dia."
"Tangan dia bawa maut."
Tina dikucilkan. Anak-anak yang dulu disuntik sehat olehnya kini meludah saat lewat depan rumah. Pintu rumahnya dicoret: “Suanggi.”
Mama Tina penyebabnya. Ada yang menyebutnya suanggi, pembawa bala, karena setelah semua yang mati, seminggu sebelumnya, sempat bertemu atau sekadar menyapa Mama Tina.
“Saya bilang dari awal, itu mama bukan orang biasa,” kata Ama Gawe di bale kampung. “Dia tidak punya suami, tidak punya anak, tinggal sendiri. Itu su udah tanda-tanda!”
Tapi siapa berani menegur langsung? Mama Tina hanya diam. Saat anak-anak mulai takut lewat rumahnya, dan beberapa ibu melarang anak mereka bermain ke arah barat dusun, Mama Tina tetap menyapu setiap pagi. Seolah tak ada yang berubah. Tak ada yang tahu, setiap malam, Mama Tina menyalakan lilin kecil di dalam kamarnya. Ia akan berbicara sendiri, pelan, menyebut nama—Andro, anak tetangga yang dulu mati tenggelam. Tini, perempuan pertama yang mati tidur. Dan Leki, lelaki tua yang terakhir ia beri daun sirih karena mengeluh pusing. Semua ia doakan. Semua ia tangisi. Mama Tina menyimpan sesuatu yang kampung tak tahu: dulu ia bidan. Ia pernah menyelamatkan banyak nyawa. Tapi satu kesalahan—anak yang tak sempat ia lahirkan hidup—mengubah segalanya. Ia menghilang bertahun-tahun, dan kembali ke kampung saat semua sudah lupa. Hanya rumah itu yang masih mengingatnya. Dan batu di bawah pohon sukun, tempat ia menunggu ampunan.
Tina pergi.
Ia menghilang bertahun-tahun. Tidak ada yang tahu ke mana. Sampai suatu pagi, ia kembali. Rambutnya sudah memutih. Tubuhnya kurus. Ia tak menjelaskan apa pun. Ia hanya tinggal kembali di rumah tua, menanam cabai dan beternak ayam. Tidak bicara dengan siapa pun. Tidak lagi menyentuh siapa pun.
Lalu kematian datang bertubi-tubi ke dusun itu.
Kakek Matheus jatuh dari pohon. Lela, bocah kecil, digigit ular. Petrus tertabrak motor. Dan seperti biasa, bukan takdir yang disalahkan. Tapi seseorang yang tak bersuara: Mama Tina.
"Dia su balik, kematian ikut."
"Bikin dia keluar lagi dari kampung ini."
Pada malam Jumat, seorang anak muda—Yohakim—mimpi buruk. Ia melihat Mama Tina duduk di atas batu nisan sambil menyanyikan lagu-lagu gereja. Mimpi itu membuatnya menjerit. Dan bagi orang kampung, itu cukup sebagai bukti. Esoknya, rumah Mama Tina dilempari batu. Jendela pecah. Anjingnya dibunuh. Ia tetap tak berkata apa pun. Hanya menyapu kaca yang pecah dan menguburkan anjingnya dengan daun pisang. Minggu depannya, ia ditemukan meninggal. Sendirian. Di kursi goyang di samping jendela. Mata terbuka, tangan memegang rosario. Tidak ada yang tahu berapa hari ia sudah mati.
Malam berikutnya, seorang datang ke rumah Mama Tina, hanya satu orang: Rosa, bidan muda yang dulu diam-diam dibantu oleh Mama Tina waktu pertama bertugas di dusun. Rosa-lah yang memanggil romo dan menyelenggarakan misa arwah. Pada malam duka, Rosa berdiri dan berkata dengan mata basah, “Kita semua pernah ditolong oleh dia. Tapi kita kuburkan dia hidup-hidup karena ketakutan kita sendiri. Hari ini, Tuhan saja mungkin malu melihat cara kita memperlakukan malaikat yang dikirim untuk kita.”
Semua orang di kampung itu diam dan menjadi sunyi.
Seperti mati.
Kebenaran memang lebih mengiris dari pisau.
Di batu nisan sederhana itu, hanya tertulis:
Tina A. Rasi
1949 – 2023
"Yang Kau lempar dengan tuduhan, Tuhan peluk dengan kemuliaan."
#danke
catatan:
"Ko": sapaan dari kata "kau" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).
"Beta": sapaan dari kata "saya" dalam bahasa in-formal orang Timor.
"Su": sapaan dari kata "sudah" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).
Komentar
Posting Komentar