Ina Rika





    Di ujung kampung yang dikepung oleh hutan dan bunyi burung malam, hiduplah seorang perempuan tua bernama Ina Rika. Orang-orang kampung memanggilnya "janda itu", dan bisik-bisik menambahkan gelar yang lebih mengerikan: suanggi. Setiap malam, ketika bulan menggantung seperti kepala kerbau tergantung di langit, kabar angin mulai beredar—ternak hilang, anak-anak demam, dan suara perempuan menangis terdengar dari balik semak di belakang rumahnya.

Tidak ada yang benar-benar melihat Ina Rika menyihir siapa pun. Tapi dalam dunia kami, kebenaran bukan soal bukti. Ia soal rasa takut yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, seperti tanah ladang yang diwariskan tanpa surat.

"Kalau kau lihat dia di jalan, jangan tatap matanya," kata Nene Suka pada cucunya, "mata itu menyimpan luka yang bisa membakar jiwamu."

Padahal Ina Rika dulunya perempuan paling cantik di kampung. Wajahnya putih bersih seperti kapur dari bukit Watu Wula. Bibirnya merah tanpa perlu sirih. Tapi kecantikan itu hancur setelah suaminya mati diracun saat panen jagung. Orang bilang racunnya dari Ina sendiri, karena cemburu buta. Tapi siapa tahu? Suaminya pemabuk dan ringan tangan. Siapa pun bisa jadi pelakunya. Tapi ketika perempuan sendirian dan kuat, kampung lebih suka menuduh daripada melindungi.

   Suatu malam, ketika hujan turun seperti kutukan, seorang anak kecil bernama Roni hilang. Warga kampung mencari ke sungai, ke ladang, ke gua kelelawar. Tak ditemukan jejak. Tapi di dekat pagar bambu rumah Ina Rika, ada bekas tapak kaki kecil. Itu cukup bagi kampung. Malam itu, obor dinyalakan. Laki-laki muda bersenjatakan parang dan kayu bakar. Mereka mendobrak pintu rumah Ina Rika. Tapi perempuan tua itu tidak berteriak. Ia hanya duduk, menjahit sesuatu di pangkuannya.

"Apa kau simpan Roni?" bentak Kepala Dusun.

Ina Rika mendongak. Matanya memang tajam. Tapi bukan tajam karena dendam. Tajam karena hidup terlalu lama dalam sunyi.

"Aku tidak menyimpan siapa-siapa," katanya pelan. "Tapi kalian, kalian semua, sudah lama menyimpan kematian dalam hati."

Orang-orang menganggap itu kutukan. Mereka membakar rumahnya malam itu. Api menjilat atap rumbia dan kayu basah, membakar sejarah seorang perempuan yang pernah mencintai, dikhianati, dan tetap bertahan.

Tiga hari kemudian, Roni ditemukan tertidur di gua kecil, lelah setelah bermain terlalu jauh. Tapi rumah Ina Rika sudah jadi arang. Mayatnya tak ditemukan.

   Kini, setiap malam, angin dari bukit membawa bisikan, suara perempuan yang menyanyi pelan. Ternak tak lagi hilang. Anak-anak tak demam lagi. Tapi kampung ini tahu, mereka telah membakar seorang perempuan karena takut pada bayangan yang mereka ciptakan sendiri.

Dan di malam terang bulan, jika kau berjalan sendirian, kadang terdengar suara lembut di telingamu:

“Jangan takut pada suanggi. Takutlah pada hati yang tak bisa mencintai.”


#danke


Komentar

Postingan Populer