Sang Pendosa
Malam yang sepi di bulan Januari mengundang khayalan gadis itu ke taman kenangan, yang ditumbuhi kembang-kembang kisah lampau, berkelopak tangisan berjatuhan satu persatu menimpa tanah basah. Bibir angin meniup ke angkasa, terbang melayang menuju pulau paling kecewa. Lalu, kelopak-kelopak itu mendarat pelan-pelan di atas telaga yang kehilangan bayang-bayang di sekitarnya. Sebab malam gulita menelan cahaya.
Sepotong kalimat prosais ungu itu, dibaca oleh gadis yang baru saja diperkosa oleh seorang pastor. Namun, siapa sangka dia harus menahan sakit diperkosa selama empat tahun, lantaran untuk menggauli gairah sang lelaki berjubah iblis itu. Bkan cuma sang lelaki itu yang melakukan hal bejat itu padanya. Pada saat baru berumur 5 tahun, paman gadis itu melakukan hal yang serupa. Gadis itu kehilangan ayah dan ibu akibat kecelakaan maut. Sepeninggal mereka ia dirawat dan diasuh oleh paman dan bibinya. Paman kandung dari gadis itu melakukan hal serupa berkali-kali pada tubuh kecilnya yang saat itu masih berada di taman kanak-kanak. Perlakuan laknat dua lelaki itu membuat nasib gadis itu bertambah buruk. Dia bukannya tidak dapat menolak nasib malang yang diterimanya sejak masih bayi. Siapa pun tak kuasa menanggungnya. Namun seakan takdir telah menggiring dia untuk selama 20 tahun tidak bisa keluar dari nestapa itu. Ia terhempas pada kondisi malang tidak dapat ditolak, untung tidak dapat diraih. Dia adalah wajah konkret peribahasa itu. Barangkali takdir sengaja membiarkan dia tersiksa atau bisa jadi karena kecantikan parasnya yang mengundang petaka untuk memeluk dia selama nafas masih di badan!
Saat berada di bangku kuliah, kemalangan berkabut membentang angin tornado yang begitu dahsyat menerpa gadis itu. Seakan hidupnya dipenuhi dengan kemalangan yang tak pernah selesai. Gadis manis bergigi ginsul itu, harus menelan kekecewaan karena kembali mengalami musibah yang sama dan mirisnya semua perlakuan itu dilakukan oleh seorang pastor. Semua itu diterimanya karena hidup di bawah tekanan. Sepanjang empat tahun berkuliah, dia harus menelan pil-pil pahit itu sendiri. Tersenyum di antara gempuran badai yang menyayat sukma.
Di sela-sela berkuliah, ada sosok gadis berparas ayu bernama Maria . Maria sahabat karibnya yang ditemuinya karena sama-sama menempati kos. Sekotak kecil kamar kos menjadi saksi dua muda mudi beradu nasib. Mereka berdua sama-sama datang dan mengaduh nasib untuk meraih masa depan yang indah. Seringkali , gadis itu ingin berbagi kisahnya dengan Maria, namun dia terlalu takut untuk dijauhi. Di hadapan cermin, setiap kali ia menatapnya, air matanya tumpah mengucur deras.
“Kaulah sumber nestapa ini" kata gadis itu.
Dia merasa asing dengan dirinya sendiri. Wajahnya adalah orang lain di hadapannya. Dia sadar, ia tidak punya siapa-siapa lagi, Marialah sosok sahabat yang selalu menemaninya. Dia tidak ingin karena masalahnya ia kehilangan Maria. Pahit manis hidup di atas putaran zaman telah mengajarinya rentetan peristiwa yang dialami dari masa ke masa, sampai dia lupa cara menghapus bulir bening di sudut mata yang mengalir bermuara ke mulut, mulut yang terpaksa membisu karena ancaman maut mencekik leher kehidupan, yang seharusnya bersinar bagai mustika dikecup cahaya terpaksa redup karena kabut derita menyelimuti jiwa.
Sampailah dia kepada akhir dari kehidupan, suasana kos kala itu sepi, karena Maria sedang pergi keluar.
Lalu...
“Di dalam perut aku ada makhluk bernyawa!” teriaknya seraya mengikat tali di leher. Lalu, menendang kepala kursi.
Kursi itu roboh ke lantai yang terhiasi pakaian dalam sang gadis berhidung mancung berdarah Melanesia.
Satu jam kemudian, sang teman kos bernama Maria menemukan mayat tergantung di dalam kamar,
Maria lalu berteriak, “Putri, Putri, Putri.”
Suara itu merambat ke telinga warga sekitar rumah dan gang-gang kecil.
Warga pun datang berbondong-bondong menyaksikan mayat si gadis yang malang itu.
Sesekali mereka menatap sang gadis dan meratapi kepergiannya.
Tak luput dari itu, Maria menangis sesenggukan sambil memeluk kaki temannya itu.
Matanya tak sengaja bertabrakan dengan kertas putih yang tertuang tinta hitam di atas meja belajar temannya.
Ia kemudian membaca surat tersebut dengan air mata;
....
Maria sahabat baikku, aku belum bisa memenuhi janjiku untuk mengejar gelar PNS bersamamu
Selama empat tahun aku diperkosa
Sedari kecil kegadisanku direnggut oleh paman kandungku.
Negeri ini memiliki nakhoda
Yang tak bisa membawa biduk
Menuju ke pulau bahagia
Tapi malah membuat penumpang mabuk.
Mabuk kecewa dan derita
Derita yang ku alami
Seperti Ibu Pertiwi
Yang selalu diperkosa
Oleh burung mesin besi investor asing
Selama bertahun tahun.
Kini kita dipermainkan bagai gasing
Tidak tahu kapan
Berhenti berputar
Inilah goresan tangan
Sahabatmu yang kehilangan rasa sabar
Karena mengandung nyawa yang tak berdosa
Nyawaku hilang saat menyadari ia hadir dalam rahimku
Yah, kebejatan pria berjubah itu berbuah hasil
Aku mengandung anaknya
Ku mencoba meminta bertemu dan meminta pertanggung jawaban
Namun, caci maki yang ku terima...
Sebab gagal berjuang
Banyak hutang
Harga diriku hilang
Di tangan pria berjubah iblis itu
Bejat, bejat, bejat!
Usai membaca isi tulisan itu, Maria pun hanyut terseret air mata!
#danke
Ringan, berkelas, menggetarkan
BalasHapusTerimakasih untuk komentarnya.🪡
Hapus