12 Tahun Lalu
Di kampung kecil yang dikelilingi bukit dan sunyi, waktu tak pernah benar-benar pergi. Ia bersembunyi di antara daun kering dan bisik tetangga, membawa kembali luka yang tak lekang dibasuh hujan atau doa.
Nama itu masih dibisikkan orang dengan nada takut dan jijik: Ama Siku.
Dua belas tahun lalu, saat bulan belum sempurna bundarnya, sebuah keluarga habis terbantai di lereng Wairutu. Ayah, ibu, dan dua anak kecil ditemukan dalam diam yang paling mengerikan. Darah di dinding, parang di tanah, dan jejak kaki menuju kebun cengkeh yang remang. Kampung geger. Telinga berdengung. Doa-doa dinaikkan seperti tak cukup kuat membendung gelombang ketakutan. Dan nama Ama Siku muncul di ujung setiap kalimat gosip:
“Dia tu su lama pendam marah.”
“Itu tanah sengketa su bikin dia panas hati.”
“Waktu istri dia mati, dia su bilang, nanti ada yang menyusul.”
Padahal tak ada yang benar-benar melihatnya di tempat kejadian. Tapi di kampung seperti ini, kalau cukup banyak orang percaya, kebenaran tak lagi butuh bukti. Maka Ama Siku pun ditangkap, diseret keluar rumah, dipukuli tanpa sempat bertanya “kenapa?”. Ia diam. Wajahnya berdarah, tapi tak bersuara.
“Kalau ko bukan pelaku, kenapa ko tidak bela diri?” tanya kepala dusun.
Ama Siku hanya menjawab, pelan:
“Orang yang patah di dalam, tidak bisa berteriak keluar.”
Ama Siku melihat ke depan dengan mata sayunya, mengingat kejadian malam itu, ia berkata dalam hatinya, "Kebenaran itu seperti air yang tertahan batu. Bisa saja ditutup, tapi satu saat akan meluap, membawa semua yang tersembunyi ke permukaan.”
Malam itu, angin kering bertiup dari timur. Lampu-lampu minyak di rumah-rumah mulai padam. Di rumah keluarga Markus Leleno, tawa anak-anak masih terdengar. Ibu mereka baru selesai menanak jagung, ayah membaca kitab Mazmur. Di luar, dua lelaki mabuk datang diam-diam. Bukan perampok asing, tapi dua pemuda kampung sendiri Matheo dan Yance, keponakan tua-tua adat, sakit hati karena tanah warisan dijual ke orang kota tanpa seizin mereka.
Mereka datang dengan dendam, bukan niat membunuh. Tapi alkohol, kemarahan, dan malam yang tak diawasi malaikat membuat tangan jadi liar. Mereka todong Markus, bentak istrinya, dan ketika anak kecil itu menangis… parang mereka turun tak terkendali.
Darah mengalir, jeritan menggema. Tapi tidak ada yang dengar. Rumah itu berdiri agak jauh di pinggir dusun, dekat kebun cengkeh. Dua pembunuh itu panik. Mereka ambil parang dan membuangnya ke arah semak, dan lari ke arah rumah Ama Siku yang sedang tertidur.
Salah satu dari mereka membuang jejak sandal ke halaman rumah Ama Siku. Dengan niat: bila dicari, arah tudingan tak ke mereka. Dan mereka berhasil.
Besok paginya, sebelum ayam jantan sempat berkokok dua kali, kampung menuduh.
Ama Siku hanya bangun oleh suara orang ramai. Ia keluar rumah, belum pakai baju lengkap, lalu dihajar sampai roboh. Tak sempat membela diri. Tangan gemetar bukan karena bersalah, tapi karena tak mengerti kenapa nama baik yang ia rawat seumur hidup dirobek hanya dengan gosip dan jejak kaki yang bukan miliknya.
Ia dihukum 12 tahun. Penjara negeri. Bukan karena ada saksi, tapi karena tak ada yang membela. Di kampung, ia jadi mitos: nama yang tak boleh disebut, wajah yang ditakuti anak-anak saat tidak mau makan. Rumahnya dibakar. Kucing peliharaannya dibunuh. Istrinya sudah meninggal sebelum kasus itu, anaknya dikirim jauh oleh keluarga dari garis ibu.
Penjara negeri itu dingin, padat, dan bau air basi. Dinding kusam dan besi tua berkarat. Ama Siku ditempatkan di sel sempit bersama lima orang tahanan. Tapi dia tidak pernah mengeluh. Tidak pernah minta perlakuan khusus. Ia hanya diam, duduk di sudut dan menulis bukan di kertas, tapi di dinding sel, pakai arang.
“Sa tidak bunuh siapa-siapa. Tapi dunia bunuh sa perlahan-lahan.”
Petugas penjara menyukai ketenangannya. Ia sering diminta bantu kebun, urus dapur, bahkan ajar napi muda baca-tulis. Tapi malam hari, ia tetap menatap langit sempit dari jeruji besi dan berkata:
“Tuhan, kalau memang sa salah, biar ini penebusan. Tapi kalau sa benar... buka jalan supaya satu hari, anak cucu kampung tahu bahwa bukan sa yang tumpahkan darah itu.”
Dan Tuhan, diam-diam, mendengar. Kebenaran terungkap
Tahun kesepuluh, Matheo jatuh sakit keras. Tubuhnya kurus, lidahnya mulai tak jelas bicara. Di ranjang kayu usang, ia berbisik pada adiknya yang kini sudah bertobat dan jadi majelis jemaat.
“Kami yang bunuh. Bukan Ama Siku. Kami yang datang malam itu... Dia korban. Ampuni kami...”
Pengakuan itu tidak langsung disampaikan. Takut. Malu. Tapi dua tahun kemudian, Yance bunuh diri. Dan sebelum mati, ia tinggalkan surat yang ditulis rapi, pakai tinta merah:
“Ama Siku bukan pembunuh. Sa dan Matheo pelakunya. Kami mabuk, kami bodoh. Kami letakkan jejak sandal di halaman rumahnya. Kami yang salah.”
Surat itu jatuh ke tangan kepala desa. Dan seluruh kampung terdiam.
Mereka berkumpul, membaca surat itu bersama Frater Beni dan Romo Andi. Satu per satu, kepala tertunduk.
Waktu berjalan. Dunia lupa. Tapi Ama Siku tidak.
Kini, ia kembali. Tubuh renta, rambut abu, langkah pelan. Tak lagi bawa parang, hanya sehelai tas kain dan selembar foto keluarga yang mulai pudar.
Orang kampung gemetar melihatnya. Tapi tak bisa mengusirnya karena hukum sudah lunas, dan hukum Tuhan mereka tak cukup kuat melawan hukum negara.
Ia membangun kembali rumah lamanya, pelan-pelan, sendiri, dari sisa-sisa kayu tua yang belum habis dilahap rayap. Ia tidak bicara banyak. Hanya menanam ubi, pelihara ayam, dan menyapu halaman setiap pagi.
Tapi malam hari, orang bilang mereka lihat dia duduk sendiri di beranda, berbisik pada angin.
Ada yang mengaku dengar suara anak kecil tertawa dari dalam rumah itu.
Ada juga yang bilang: "Itu bukan suara anak... itu suara luka."
Suatu hari, Arni, seorang guru muda dari kota, datang mengajar di SD kampung. Ia suka bertanya hal-hal yang tak dibahas di kelas. Dan suatu sore, ia duduk bersama Ama Siku, bawa sebakul jagung rebus.“Bapa, kenapa tidak pergi saja ke kota? Orang-orang di sini masih takut.”
Ama Siku tersenyum kecil. Matanya teduh, tapi berlapis musim hujan.
“Kalau luka dibuang ke kota, luka itu tetap tinggal di hati. Tapi kalau sa tinggal di tanah luka ini... mungkin dia bisa sembuh.”
Arni terdiam.
Lalu perlahan, satu per satu anak kampung mulai bermain di dekat rumah Ama Siku. Ada yang dipanggil masuk untuk makan singkong goreng, ada yang diajari ukir kayu. Mereka tidak tahu kisah lama. Mereka tidak tumbuh dengan ketakutan, hanya rasa ingin tahu.
Dan akhirnya... kampung mulai lupa rasa takutnya, tapi tidak dengan rasa bersalahnya.
Sampai suatu malam, seorang lelaki tua yang dulu ikut memukul Ama Siku, datang dan menangis di depan rumah itu. Membawa dua ayam dan seikat sirih. Tak sanggup berkata maaf. Hanya duduk lama di tanah.
Ama Siku menatap langit, lalu berkata:
“Dua belas tahun lalu, bukan langit yang salah. Tapi kita semua terlalu cepat percaya pada mulut, bukan hati.”
Tapi Ama Siku tidak marah. Ia hanya bilang:
“Sa su tua. Sa tidak butuh kebenaran untuk hidup, beta butuh kebenaran untuk anak-anak kampung ini.”
Dan begitulah...
Kampung mulai menulis kembali sejarahnya. Tak semua orang percaya cepat-cepat. Tapi setiap hari, lebih banyak orang datang duduk di beranda rumah Ama Siku. Minta maaf. Bawa cerita. Dan dengar cerita.
Sebab kadang... yang lebih berat dari dihukum, adalah dihukum atas kesalahan yang tak kau buat.
Ama Siku tidak punya banyak waktu. Tapi ia punya satu permintaan terakhir:
“Kubur sa dekat keluarga Markus. Di sisi mereka. Karena cuma di antara orang mati, beta bisa tenang.”
Dan di atas batu nisan kayu itu, guru Arni ukir kalimat yang kini diajarkan di sekolah:
"Yang Tercinta Ama Sikku April 2000."
“Kebenaran kadang datang terlambat, tapi dia tidak pernah mati.”
#Danke
catatan:
"Ko": sapaan dari kata "kau" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).
"Su": sapaan dari kata "sudah" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).
"Sa": sapaan sari kata "saya" dalam bahasa in-formal orang Timur.
Komentar
Posting Komentar