Luka Marta


 

"Di kampung kecil di bawah kaki gunung itu, aib lebih cepat menyebar daripada kabar duka. Dan perempuan selalu yang pertama dituding, terakhir dimengerti."

     Namanya Marta Leiwalang, anak sulung dari keluarga sederhana di dusun Balelagong. Ayahnya petani cengkeh, ibunya menenun. Marta pintar sejak kecil. Ia sekolah tinggi, sampai dapat beasiswa studi ke Kota. Seluruh kampung bangga, ia anak perempuan satu-satunya yang bisa kuliah dari dusun itu.

Tapi, kebanggaan tak bertahan lama.

Marta pulang di tahun ketiga, tak membawa ijazah, hanya tubuh yang makin hari makin membesar. Tujuh bulan. Perut yang tak bisa lagi disembunyikan oleh sarung atau selendang, dan kabar itu menyebar lebih cepat dari kaki Marta menapaki tangga rumah.

“Saya baru dengar dia su pulang, langsung bawa anak pulang, bukan ijazah,” kata tetangga.

“Itu contoh kalau orang tua terlalu bangga, terus lupa jaga anak perempuan,” timpal yang lain.

Tak ada yang tanya apakah Marta masih makan, apakah ia masih kuat. Yang ramai dibahas hanya siapa laki-laki itu, kenapa belum ada yang datang bayar belis, dan apakah dia masih pantas duduk di barisan komuni.

Ayahnya diam. Ibunya menangis setiap malam. 

      Marta mengurung diri di kamar bambu yang sempit. Kamar itu kecil, berdinding bilik bambu yang mudah ditembus angin malam dan suara dari luar. Bau tanah basah, kain tua, dan luka yang belum sembuh menggantung di udara. Marta duduk di sudut, lutut dirapatkan ke dada, tangan memeluk perut yang makin menonjol. Ia hanya keluar kalau malam, mengambil air atau menjemur pakaian. Siang hari ia tidur, atau duduk diam sambil mengelus perutnya.

Ia menulis nama di kertas sobek, mencoba membayangkan: “Kalau perempuan, saya kasih nama Ina. Kalau laki-laki, Yohanis.” Tapi semakin hari, suara-suara dari luar rumah seperti paku yang menancap di ubun-ubunnya. Hujan mengetuk atap seng, tapi yang lebih bising adalah suara dari dalam kepalanya sendiri. Ia menggigit bibir sendiri, mencoba melupakan... tapi malam itu selalu datang kembali. Malam saat ia tersesat sepulang les malam di Kota. Hujan deras. Ojek langganannya tak datang. Jalanan sepi. Lampu-lampu jalan mati. Ia ingat seseorang memanggil namanya. Mungkin kenal. Mungkin tidak. Ia tidak sempat melihat wajahnya jelas. Hanya tubuh berat, tangan kasar, dan nafas penuh alkohol. Ia berteriak—tapi hujan dan sunyi kota lebih besar dari suaranya. Tidak ada orang. Tidak ada lampu. Tidak ada yang menolong. Dan ketika semuanya selesai, ia ditinggalkan begitu saja seperti kain lap kotor di pinggir jalan.

"Saya bukan pelacur... Saya tidak mau itu...” gumamnya pelan di kamar itu. Hanya dinding bambu yang jadi saksi.

Malam-malam berikutnya di asrama berubah menjadi neraka. Ia muntah-muntah. Teman sekamar mulai bertanya. Ia bohong, bilang sakit maag. Tapi tubuh tak bisa terus disembunyikan. Dan ketika bulan kelima tiba, perut itu tak bisa disangkal lagi.

"Saya bawa pulang anak ini. Biar orang bilang apa, dia bukan dosa, dia daging saya sendiri,” katanya dalam hati.

Tapi bukan itu yang menyakitkan. Yang menyakitkan adalah... orang tak peduli ia diperkosa. Mereka hanya peduli dia pulang dengan perut berisi. Di kamarnya, Marta menulis surat. Banyak surat. Tapi tak pernah dikirim. Satu untuk polisi, yang tak sempat ia temui karena takut. Satu untuk ibunya, yang hanya ia tempelkan di bawah tikar. Dan satu untuk dirinya sendiri:

"Saya bukan perempuan busuk. Saya korban. Tapi kalau semua orang tutup mata dan kuping, apakah saya masih layak bernapas?”

Surat itu ia sobek kemudian. Ia menangis sampai pagi, lalu memeluk perutnya sambil bisik:

 “Anak... mama cinta ko... tapi dunia ini kejam sekali."

    Semakin hari, Marta bukan hanya dicerca, tapi diadili tanpa hakim—oleh mulut-mulut tetangga yang tajam seperti belati. Rumahnya dilempari batu, namanya dihina lebih rendah dari tanah. Ia menggigit luka, menahan tangis, tetap berjalan ke matahari pagi seolah tak terjadi apa-apa. Tapi kata-kata itu seperti racun yang lambat: makin hari makin menghancurkan dari dalam. Dan pada akhirnya, tak ada lagi yang bisa ditahan—ia menyerah, bukan karena lemah, tapi karena dunia terlalu kejam untuk orang yang hanya ingin hidup dengan tenang.

“Dia su rusak, siapa mau kahwin perempuan begitu?”

“Kalau laki-laki itu tanggung jawab, pasti dia su datang bayar… tapi ini diam-diam saja.”

“Kasi keluar saja itu anak, bikin malu nama kampung.”

Yang paling menyakitkan datang dari mulut kepala lingkungan: “Perempuan yang tidak tahu jaga tubuhnya tidak layak jadi contoh. Ini kampung Kristen, bukan kota.”

      Setelah tiga Minggu ditempa cacian, Marta berjalan pelan-pelan menuju gereja. Jemaat bubar, semua kembali ke rumah masing-masing, tapi mata-mata masih menempel di punggungnya, seolah tubuhnya najis, seolah langkahnya menodai tanah gereja.

Di tikungan terakhir menuju rumah, caci maki datang seperti hujan batu.

"Perempuan bajingan!”

“Kasihan mamanya, lahirkan anak haram!”

“Gereja juga sudah dicemari perempuan hamil!”

Marta tidak menjawab. Ia tidak menangis. Tapi langkahnya lebih berat dari biasanya. Ia buka pintu rumah pelan-pelan, menaruh alkitabnya seperti menaruh luka di meja.

Ia duduk. Lama. Menghadap ke dinding bambu yang mulai lapuk, sepi, dan tak menghakimi.

“Saya coba bertahan… tapi kalau hidup begini tiap hari, siapa yang kuat?” bisiknya sendiri, nyaris tak terdengar, seperti suara angin patah sayap.

Lalu, ia berdiri. Melepas baju tugas Minggunya perlahan.

Ia lipat rapi, letakkan di atas meja.

Ia memutuskan.

Bukan karena takut. Tapi karena tak ada lagi tempat yang cukup luas di dunia ini untuk perempuan yang hanya ingin didengar tanpa dihakimi, Di malam itu, ia berjalan ke batu Tedelo. Bukan untuk mati. Tapi untuk mengakhiri luka yang tak pernah didengar. Marta berdiri di tebing kecil dekat batu Tedelo — tempat anak-anak sering loncat mandi. Di bawahnya jurang dan kali yang deras. Di tangannya, sehelai surat, tertulis dengan tulisan miring dan tinta luntur karena tangis: 

“Saya bukan perempuan jahat. Tapi beta lelah hidup tanpa suara sendiri. saya lelah dituding, padahal yang buat beta begini su hilang begitu saja. Kalau saya mati, jangan salahkan bayi ini. Dia tidak salah. Tapi kalau bisa, kasih dia nama. Supaya dunia tahu dia pernah ada.”

Pagi harinya, orang kampung menemukan sandalnya di pinggir tebing. Tapi tubuh Marta tak pernah ditemukan.

Beberapa warga bilang: itu kutukan. Beberapa bilang: pantas. Tapi di antara mereka, hanya satu yang mengerti: ibunya. Setiap sore, ia duduk di batu Tedelo, bawa roti dan susu, letakkan perlahan di tanah. "Biar anak dan cucu makan... meski mama tidak sempat dengar suara tangisnya.” Sejak hari itu, banyak gadis kampung diam-diam menulis di buku harian mereka. Tidak lagi tentang cinta, tapi tentang ketakutan. Sejak Marta hilang, Ina Selmi—ibunya—tak lagi menjahit sarung pesanan dari pasar. Ia tidak datang ke kebaktian, tidak duduk di kursi paling belakang bersama mama-mama tua lain yang biasa menggiling pinang di mulut sambil cerita cucu. Ia hanya duduk di batu Tedelo—tempat terakhir Marta meninggalkan jejak. Kadang bawa roti, kadang sehelai baju kecil yang dijahit dari sisa kain sarung Marta waktu kecil. Di hadapan batu itu, ia tidak menangis. Air matanya sudah habis malam-malam kemarin.

 “Anak saya bukan hina, bukan juga bintang jatuh. Dia terang, hanya saja langitnya yang sempit,” katanya pada angin.

Banyak orang bilang Ina Selmi gila. Tapi bagi mereka yang pelan-pelan berani bertanya, ia tak gila. Ia hanya sedang berdiri paling tegak di antara puing yang diruntuhkan orang kampung sendiri.

Suatu hari, datang Frater Beni dari paroki, diutus oleh pastor paroki untuk menyampaikan pesan. Ia muda, baru pulang studi, dan punya semangat perubahan. Tapi dia gugup ketika bicara dengan Ina Selmi.

"Ina... gereja titip salam... mungkin minggu depan... bisa hadir kembali di kebaktian?”

Ina Selmi pandang mata anak muda itu lama. Lalu bertanya perlahan.

“Kalau saya hadir, apakah anak saya juga akan disambut? Atau hanya yang tak berbadan dua yang boleh menyanyi?” Frater Beni diam.

“Gereja, anakku... harusnya tempat orang-orang yang luka datang. Bukan tempat suci untuk mereka yang sudah bersih.”

Ia tak berkata kasar. Tapi kata-katanya seperti duri api yang menempel lama di dada Frater muda itu. Sejak hari itu, Frater Beni mengubah isi kotbah minggunya. Ia mulai menyebut nama Marta. Bukan sebagai aib, tapi sebagai tanda tanya di depan iman yang belum selesai.

      Tahun-tahun berlalu, di dusun Balelagong ada tiga gadis remaja hamil. Satu diantaranya anak guru sekolah minggu. Tidak ada yang berani mengusir mereka. Karena suara Marta, yang tak pernah sempat membela diri, kini bersuara lewat keheningan ibunya. 

Di hari peringatan kematian Marta, Ina Selmi berdiri di depan gereja, minta izin bicara. Ia tak baca teks. Hanya bicara dari dada.

“Perempuan bukan hanya alat untuk melahirkan anak, tapi juga dilahirkan dari Tuhan.

Jangan hanya lihat perutnya, lihat dulu siapa yang menanam benih lalu lari.

Kalau kalian semua bisa salah tapi masih bisa duduk di kursi ibadah, kenapa anak saya tidak boleh?"

Pagi itu, untuk pertama kalinya, seluruh gereja diam. Tak karena malu, tapi karena mereka akhirnya mendengar Marta, lewat suara ibunya.


Di batu Tedelo kini berdiri salib kayu kecil, dibuat oleh para pemuda. Di bawahnya tertulis:

“Untuk Marta Leiwalang, yang tak sempat menangis, tapi membuat kami semua membuka mata.”


#danke


catatan:

"Ko": sapaan dari kata "kau" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).

"Su": sapaan dari kata "sudah" dalam bahasa in-formal orang Timur (Flores).





Komentar

Postingan Populer