Pulang



Cinta tak selalu pergi saat ditinggal mati. Kadang ia justru tinggal, diam-diam menunggu yang tak akan pernah kembali.
     Begitulah cinta yang Elna pelihara. Ia tidak tumbuh di pelaminan, tidak berkembang dalam obrolan panjang tentang masa depan. Tapi ia tumbuh dari janji yang sederhana: "Kalau aku hilang, tunggu aku di tempat pertama kali aku bilang cinta."
Sejak malam itu—tiga tahun yang lalu, ketika badai menggulung laut dan menelan satu perahu kecil—Elna belum pernah absen satu sore pun di tepi Pantai Leloa, sebuah pantai sunyi di sudut timur pulau yang tak banyak dicari turis. Di sana, ada bangku tua dari kayu jati yang mereka cat bersama ketika masih sekolah. Biru pudar, penuh coretan nama dan lagu, jadi saksi bahwa dulu mereka pernah ada. Rivan, si pemuda nelayan itu, keras kepala dan berani. Ia suka menyanyi, dan suaranya serak-serak manis. Elna, si gadis penjual gorengan di sekolah, lebih banyak diam, tapi hatinya tumpah kalau Rivan bicara. Orang kampung tahu, mereka saling mencintai—cara yang sederhana, tapi tulus.
     Badai itu datang mendadak. Langit menghitam, angin menggila. Elna sempat melarang. Tapi Rivan hanya menyentuh pipinya dan berkata, “Besok pagi kita makan jagung bakar di sini, ya?” Lalu dia pergi membawa jala dan harapan. Yang kembali bukan dirinya, tapi perahu kosong—patah, penuh lumut dan diam.
Orang kampung menangis. Ibunya Rivan pingsan. Tapi Elna, Elna justru tak menangis. Ia hanya berjalan ke bangku di pantai dan duduk. Ia terus duduk di sana. Hari demi hari. Sore demi sore. Selalu membawa dua gelas teh manis, satu untuk dirinya, satu lagi ditaruh di sebelah. Kadang ia bicara pelan pada angin, seolah angin bisa bawa kabarnya pada Rivan yang entah di mana. Anak-anak kampung suka mengintip dari balik pohon kelapa. Para ibu geleng-geleng kepala. Tapi mereka tahu, Elna tidak gila. Ia cuma sedang setia pada janji yang belum usai. Ia menjaga cinta yang tidak mati, tapi tinggal di antara batas: antara laut dan langit, antara harapan dan kehilangan.
“Cinta itu bukan soal punya,” katanya pelan pada seorang anak kecil yang bertanya kenapa ia masih sendiri. “Kadang cinta cuma soal menunggu, walau tahu yang ditunggu mungkin sudah jadi ombak.”
Bangku itu masih ada, meski termakan karat laut dan panas matahari. Elna pun masih datang, dengan rambut yang makin kusut dan mata yang makin redup. Tapi senyumnya tetap sama: tenang, meski sedih.
     Setiap ombak yang datang, bagi Elna, adalah salam dari jauh. Dari seseorang yang barangkali sudah jadi karang. Atau mungkin... masih mencoba pulang.
#danke

Komentar

Postingan Populer