Pastor Alex
"Hidup kadang bukan soal setia di altar, tapi soal jujur di hati."
Namanya Pastor Alex. Umurnya baru tiga puluh dua. Jubahnya masih rapi, suaranya masih lantang kalau berkhotbah. Ia ditugaskan di paroki kecil di ujung pegunungan, tempat orang lebih hafal suara burung kasuari ketimbang bunyi lonceng misa.
Orang kampung suka dia—karena dia muda, sopan, dan tidak pelit senyum. Kalau menyapa umat, dia biasa lepas jubah, pakai sarung, duduk bersila minum tuak ringan, tertawa bersama para petani. Anak-anak senang karena Pastor Alex bawa buku cerita dan tahu cara buat pesawat kertas.
Sampai satu hari, datanglah seorang janda baru dari kota. Namanya Maria. Umurnya tak jauh dari Pastor. Ia cantik, tapi bukan karena bedak atau lipstik. Cantiknya Maria itu seperti embun pagi—tenang dan jujur. Suaminya mati karena kecelakaan, katanya. Ia kembali ke kampung untuk menenangkan diri, bawa satu anak laki-laki yang masih kecil.
Mereka pertama kali bertemu di halaman gereja. Maria sedang bersihkan pot bunga altar, Pastor Alex habis pulang dari rumah duka.
“Terima kasih sudah bantu bersih-bersih,” kata Pastor, sambil menahan gugup aneh yang ia sendiri heran dari mana datangnya.
“Sudah kebiasaan di kota, Pastor,” jawab Maria, dengan senyum kecil yang seperti doa rosario: pelan tapi sampai ke hati.
Hari-hari setelah itu, mereka sering bertemu. Maria ikut bantu Sekami, ajar anak-anak menyanyi, dan bantu urus bunga misa. Pastor Alex, walau berusaha jaga batas, mulai sadar hatinya berubah. Ia doakan lebih lama dari biasanya, berharap perasaan itu hilang. Tapi makin didoakan, bayangan wajah Maria malah makin sering datang.
Suatu malam, hujan deras turun. Maria datang ke pastoran bawa anaknya yang demam tinggi. Rumahnya kemasukan air, jalan ke Puskesmas tergenang. Pastor terpaksa terima mereka menginap di ruang tamu pastoran.
Anak itu tidur pulas, dibalut kain tebal. Pastor dan Maria duduk berjauhan, diam.
“Maaf, Pastor. Ini tidak seharusnya,” kata Maria sambil menunduk.
Pastor Alex hanya menggeleng, tapi matanya tak berani menatap.
Dalam hati, perang mulai berkecamuk. Ia ingat janjinya. Ingat tahbisan. Tapi juga ingat matanya sendiri yang mulai mencari Maria di antara umat setiap misa. Ia merasa jubah itu mulai berat. Bukan karena dosa, tapi karena kerinduan akan hidup yang tak bisa disangkal.
Sebelum Maria datang, hidup Pastor Alex adalah hidup yang lurus dan sunyi.
Ia tiba di paroki pegunungan itu dengan semangat seperti api lilin baru dinyalakan. Penuh cahaya, tapi juga rapuh. Ia pikir, hidupnya akan tenang seperti dalam buku harian biara—misa pagi, kunjungan umat, berdoa, lalu tidur dalam damai. Tapi di pedalaman, yang ia temui bukan hanya umat, tapi sunyi yang sangat panjang.
Hari-harinya diisi dengan misa pagi yang hanya dihadiri lima nenek tua. Sore hari ia keliling kampung, jalan kaki berjam-jam hanya untuk berkhotbah di rumah-rumah beratap rumbia. Malam hari, ia duduk sendiri di meja kayu kecil di ruang baca, buka Kitab Suci, lalu menulis catatan kotbah.
Kadang ia menulis surat ke teman imamnya di kota:
“Di sini Tuhan sepi. Tapi justru itu, saya belajar mendengar suara-Nya yang pelan.”
Ia belajar menanam sayur, belajar menganyam tikar dari oma-oma kampung, dan memperbaiki genteng gereja yang bocor pakai tangan sendiri. Jubah putihnya sering kotor karena lumpur, tapi ia tak peduli. Ia merasa hidupnya sederhana tapi berarti.
Namun dalam diam itu juga, muncul rasa hampa. Pastor Alex sering termenung di depan salib kayu altar. Bukan karena kehilangan iman, tapi karena mulai merasa sendirian. Kadang ia bertanya, apakah menjadi imam berarti juga mengubur kerinduan akan kehangatan manusia? Apakah ia hanya boleh mencintai umat secara umum, tapi tidak boleh rindu akan kehadiran satu pribadi?
Ia tidak pernah bercerita kepada siapa pun. Tapi setiap malam, doanya makin panjang. Kalimat terakhirnya selalu:
“Tuhan, ajar beta tetap setia. Tapi kalau beta mulai salah jalan, jangan Kau hukum, cukup Kau sadarkan dengan kasih.”
Dan kasih itu datang—dalam wujud Maria.
Minggu berikutnya, Pastor Alex berkhotbah tentang kasih yang jujur. Tapi suaranya bergetar. Ia bicara tentang salib, tapi yang terasa berat bukanlah kayu di punggung Kristus, melainkan jubah yang ia kenakan.
Malam itu sunyi. Langit mendung menggantung seperti beban di dadanya. Di meja kecil pastoran, lilin menyala redup. Di hadapannya, kertas kosong tergeletak, pena diam tak bergerak. Tapi di dalam hati Pastor Alex, perang sedang terjadi.
Tangannya gemetar. Ia menatap kertas itu lama sekali, seperti hendak menulis dosa terbesar dalam hidupnya. Tapi yang ia tulis bukan pengakuan dosa, melainkan kejujuran yang selama ini ia kubur.
Ia sudah berkali-kali menahan. Berdoa. Berpuasa. Membaca kisah para martir, mencoba memadamkan bara dalam dirinya. Tapi setiap melihat Maria tersenyum sambil mengajar anak-anak Sekami di halaman gereja, hatinya goyah. Ia tidak membenci panggilan imamatnya. Tidak. Ia justru mencintainya begitu dalam, hingga tak mau mencemarinya dengan cinta yang tak bisa ia abaikan.
“Kalau beta terus begini, beta tipu umat,” bisiknya pada salib kecil yang tergantung di dinding.
Ia tahu, umat percaya padanya bukan hanya sebagai pemimpin misa, tapi sebagai lambang kesetiaan pada kaul. Tapi ia juga tahu, jika ia terus berpura-pura kuat, maka lambat laun ia akan hancur di dalam diam.
Di malam itu, ia menulis kalimat pertamanya:
“Saya, Pastor Alex, dengan hati yang berat, menyatakan mengundurkan diri…”
Ia berhenti. Menarik napas dalam. Air mata yang ditahannya selama ini jatuh juga—bukan karena kalah, tapi karena jujur.
Ia menuliskan alasannya singkat:
“…karena saya sadar, tidak mungkin melayani altar dengan hati yang terbagi.”
Setelah selesai, ia melipat surat itu pelan-pelan, seperti melipat lembar terakhir dari hidup yang telah ia jalani dengan setia. Ia letakkan di atas altar kecil di ruang doa pribadinya, lalu berlutut lama.
“Kalau ini salah, Tuhan, hukum saya dengan jalan-Mu. Tapi kalau ini benar, tuntun beta melayani dengan cara lain.”
Dalam diam malam itu, Pastor Alex menanggalkan jubahnya. Bukan karena lari dari panggilan, tapi karena ia ingin jujur sebelum terlambat.
Dua bulan kemudian, surat pengunduran dirinya dikirim. Ia tak jelaskan panjang lebar. Hanya satu kalimat:
"Lebih baik menanggalkan jubah, daripada mengkhianati hati sendiri dan umat yang percaya pada kejujuran imamnya."
Beberapa malam sebelum surat itu ditulis, Pastor Alex sering terbangun oleh mimpi yang sama—ia berdiri di tengah gereja, tapi semua bangku kosong. Salib di altar retak. Dan dari balik jendela gereja, ada suara anak kecil menangis, memanggil-manggil namanya. Ia terjaga dengan tubuh dingin dan dada sesak.
Di siang hari, ia tetap tersenyum kepada umat, menyapa dengan hangat, mencium tangan oma-oma, dan menyuapi bubur kepada anak-anak kecil. Tapi di malam hari, ia merasa menjadi dua orang. Satu: imam yang taat.
Pernah sekali, ia mencoba menghindari Maria. Ia tidak hadir saat Sekami latihan nyanyi. Tidak ikut menanam ubi bersama umat. Ia hanya duduk di belakang pastoran, menatap kabut menelan hutan. Tapi justru di situ ia mendengar tawa Maria dari kejauhan. Dan hatinya bergetar.
“Beta rasa salah, tapi beta jujur,” gumamnya di depan salib kayu tua.
Lalu datang malam itu. Ia menulis surat pengunduran diri, dengan air mata dan kejujuran yang sulit."
Surat itu sampai ke Keuskupan dua minggu kemudian, dibawa oleh frater yang baru datang untuk liburan Natal. Uskup membacanya dua kali. Wajahnya tidak marah. Tapi mata tuanya yang sudah penuh pengalaman menyipit lama.
Tiga hari kemudian, uskup memutuskan datang sendiri ke kampung itu. Ia tidak membawa kemarahan, hanya sebuah pertanyaan:
“Alex, apakah ini keputusan yang lahir dari cinta sejati atau hanya rasa lelah sesaat?”
Pastor Alex terdiam. Mereka berbicara lama di teras pastoran, ditemani kopi pahit dan angin dari lereng. Ia menjelaskan semuanya, tanpa menyembunyikan nama Maria.
Uskup mengangguk perlahan.
“Imamat bukan penjara, Alex. Tapi juga bukan jalan kabur dari kerinduan dunia. Kalau kau pergi, jangan karena kau kalah. Pergilah karena kau siap hidup benar di luar altar.”
Lalu, uskup meremas bahunya.
“Kalau suatu hari kamu rindu kembali, jangan malu. Tuhan tak pernah menutup pintu pada anak yang jujur.”
Maria, saat tahu pengunduran diri itu karena dirinya, diam lama di pondok kecil tempat ia tinggal bersama neneknya. Ia menangis bukan karena bahagia, tapi takut.
“Beta cuma wanita biasa,” katanya pada neneknya. “Bagaimana kalau orang salah sangka? Kalau dia tinggalkan altar, lalu beta tak mampu bahagiakan dia?”
Nenek hanya menggenggam tangan Maria, dan berkata,
“Cinta itu bukan soal mampu atau tidak. Tapi soal keberanian menanggung hari esok bersama, entah hujan entah panas.”
Malam itu, Maria menulis surat balasan kepada Pastor Alex. Surat itu sederhana, ditulis di atas kertas bekas pembungkus gula.
"Kalau kau datang, jangan datang sebagai malaikat. Datanglah sebagai manusia. Karena beta juga bukan Maria dari Nazaret. Beta hanya Maria dari bukit ini, yang juga pernah patah, tapi siap berdiri kalau ada yang pegang tangan.”
Tiga bulan kemudian, setelah misa terakhir, Pastor Alex menggantung jubah putihnya di lemari kayu kecil. Ia mengenakan baju biasa, dengan kemeja lusuh dan celana kain. Orang kampung terkejut. Ada yang kecewa, ada yang marah. Tapi tak lama, mereka melihat Pastor Alex kembali. Bukan dengan jubah, tapi dengan cangkul. Ia bangun rumah di tanah milik gereja lama, hidup sederhana, ajar anak-anak membaca, dan tetap bantu misa kalau diminta. Umat mengantar kepergiannya dengan doa dan air mata.
Bukan marah, tapi haru. Karena mereka tahu, imam itu telah mengajar mereka lebih dari sekadar doa—ia telah mengajar arti kejujuran.
Ia dan Maria berjalan turun bukit bersama. Tidak ada janji pernikahan cepat. Tidak ada rencana pasti. Hanya dua orang, yang menanggalkan masa lalu dan mencoba menenun hari baru.
Dan di bukit belakang gereja, salib kayu masih berdiri. Mungkin suatu hari, Alex akan kembali. Atau mungkin tidak. Tapi satu hal pasti: ia telah mencintai, dan mencintai dengan jujur.
Maria? Ia tetap di sana. Bukan sebagai alasan, tapi sebagai teman yang pernah membuka luka lama seorang pastor—dan menuntunnya menemukan bentuk kasih lain yang juga suci.
#danke
Komentar
Posting Komentar