Dayana




     Dayana duduk di tepi ranjang kayu yang sudah mulai berderit. Kamar kecil itu sunyi, hanya suara jam dinding yang terus berdetak, seakan menghitung sisa semangat yang belum habis dalam dirinya. Setiap pagi ia bangun dengan satu tanya yang tak pernah dijawab langit: “Sampai kapan?”

Sudah berkali-kali Dayana mencoba—bukan mencoba hidup, tapi mencoba percaya bahwa hidup bisa berubah. Namun setiap usaha selalu dijegal nasib yang lucu, kadang kejam, kadang hanya diam. Sekali waktu ia menulis puisi, berharap kata-kata bisa menyembuhkan. Tapi setiap bait justru membuka luka-luka lama yang belum kering. Ia menyobek puisinya dan membuangnya ke tempat sampah, tempat yang sama di mana ia merasa dirinya tinggal.

    Suatu sore, datang sepucuk surat tanpa nama pengirim. Hanya tertulis di sampul: “Untukmu, yang tak ingin bangun esok hari.” Tangannya gemetar saat membukanya. Isinya hanya satu kalimat:

“Apa jadinya dunia jika satu cahaya kecil seperti kamu padam begitu saja?”

Ia membaca ulang surat itu, berulang-ulang, seperti mantra. Entah siapa yang menulis. Bisa jadi Tuhan yang sedang menyamar. Bisa juga hanya seseorang yang pernah berdiri di tepi jurang dan memutuskan mundur.

Sejak itu, Dayana mulai menulis lagi. Bukan untuk mengobati, tapi untuk bertahan. Ia menulis di ujung-ujung buku catatan, di belakang struk belanja, bahkan di dinding kamarnya. Kalimat-kalimat yang tak selalu puitis, tapi jujur. Tentang takut. Tentang patah. Tentang ingin hilang, tapi masih berharap dilihat.

    Desa tempat Dayana tinggal seperti terjebak di antara dua musim: hujan yang tak sungguh deras dan panas yang tak sepenuhnya mengeringkan. Orang-orang di kampung itu berkata, “Dayana terlalu banyak berpikir. Perempuan sepertinya tak usah berkhayal terlalu tinggi.” Ucapan itu ditanamkan sejak ia gadis belasan tahun yang gemar membaca buku tua milik almarhum ayahnya.

Ibunya—perempuan keras yang ditinggal hidup suaminya oleh kemiskinan dan sakit—berulang kali berkata,

“Dayana, perempuan di kampung ini cukup tahu cara menanak nasi dan menyimpan air hujan. Jangan jadi seperti ayahmu—terlalu banyak mimpi.”

Tapi Dayana selalu merasa ada suara lain dalam dirinya. Suara yang tak terdengar, tapi menggema: bahwa hidup tak hanya soal bertahan, tapi juga tentang menolak tenggelam diam-diam. Lalu datanglah lelaki dari kota. Namanya Tegar. Guru kontrak di sekolah dasar yang baru dibuka oleh pemerintah. Ia bertubuh kurus dan membawa banyak buku. Ia membaca tulisan Dayana yang ditempel di papan pengumuman sekolah—tulisan tentang hujan yang malu-malu, tentang anak-anak desa yang bermata lapar tapi bermimpi besar.

Tegar mendekati Dayana. Mereka berdiskusi tentang buku, tentang tanah, bahkan tentang Tuhan. Tapi kabar selalu lebih cepat daripada kenyataan. Orang-orang mulai bergunjing.

“Perempuan tak bersuami, berkawan dekat dengan lelaki luar kampung? Tak tahu malu.”

Ibunya mulai murung. Tak ada nasi di atas meja, hanya sindiran-sindiran pahit. “Kau ingin jadi cermin retak di rumah ini, Dayana?”

    Malam itu, Dayana menangis di balik dinding dapur. Ia ingin pergi, tapi tak tahu ke mana. Ia ingin tinggal, tapi tak punya tempat untuk berteduh dari lidah tetangga. Beberapa hari kemudian, Tegar menghilang. Surat tugasnya dipindah ke kecamatan lain. Ia hanya meninggalkan sepucuk surat, berisi kutipan dari puisi Dayana sendiri:

“Jika satu-satunya suara yang mendengarmu hanya sunyi, maka biarlah kau sendiri menjadi gema.”

Dayana tak menangis. Ia menanam surat itu di bawah pohon mangga belakang rumah. Sejak itu, setiap pagi, ia menulis di daun-daun kering. Ia tidak lagi bertanya kepada langit. Ia tahu, beberapa pertanyaan memang tak butuh jawaban. Cukup dijalani, cukup dihidupi.

---

    Tiga tahun telah berlalu. Dayana kini mengajar di sekolah dasar—menggantikan posisi yang dulu diisi Tegar. Ia belum pernah keluar dari kampung itu, tapi buku-bukunya telah melangkah lebih jauh: dibaca oleh anak-anak dari desa ke desa, disalin di dinding kelas, dijadikan lagu oleh murid-murid kecil yang tak tahu siapa penulisnya.

Orang-orang kampung masih bergunjing. Tapi kini, dengan nada malu-malu. Sebab anak-anak mereka pulang membawa pujian dari kota: “Bu Dayana ajar menulis dengan hati.”

 Suatu senja, saat daun-daun mangga gugur, Dayana duduk di bawah pohon itu sambil mengamati langit yang kelabu. Kali ini, ia tak menunggu jawaban. Ia tersenyum dan berbisik pada dirinya sendiri,

"Langit boleh diam. Tapi aku sudah menjawab hidupku sendiri."


#danke


Komentar

Postingan Populer