Batas
Desa Matalaga bukan desa besar. Jalan aspal hanya sampai ke depan kantor desa. Sisanya, kerikil dan tanah merah. Tapi orang-orang di situ ramah, meski kadang lidah mereka lebih tajam dari cangkul. Di desa itu, tinggal seorang perempuan yang sering jadi bahan bisik-bisik. Namanya Rina. Rina bukan jahat. Tapi orang mengingatnya dari masa lalunya yang kelam. Ia pernah kawin lari dengan sopir truk dari kota. Hidup bersama tanpa nikah. Hamil sebelum sah. Dan ketika lelaki itu pergi entah ke mana, Rina pulang ke kampung membawa bayi yang akhirnya meninggal saat usia tiga bulan karena demam berdarah. Sejak itu, hidupnya seperti berjalan dalam kabut. Orang-orang tak sudi duduk satu meja dengannya di gereja. Bahkan waktu ikut bersih-bersih kapel, ada yang bilang, “Jangan suruh Rina, nanti patung Bunda Maria jadi menangis.” Rina cuma senyum. Ia sudah biasa dihukum tanpa pengadilan. Hidupnya mulai berubah pelan-pelan sejak datangnya Romo Andi. Romo Andi bukan pastor yang suka pakai jubah rapi dan bicara dengan nada tinggi. Ia sering pakai sandal jepit ke ladang, ngobrol sama petani soal panen jagung, dan kadang ngopi di warung bersama anak-anak muda kampung. Orang-orang suka gaya bicaranya yang santai, tapi tegas saat bicara soal iman. Hari pertama Rina bertemu Romo Andi adalah saat misa hari Minggu. Rina duduk di bangku paling belakang, seperti biasa. Tapi tiba-tiba Romo berkata, “Saya ingin ajak umat duduk ke depan, biar saya bisa lihat senyum kalian lebih dekat.”
Semua orang bingung. Rina tidak berdiri. Tapi Romo tersenyum ke arahnya dan bilang, “Rina, ayo ke depan, saya belum hafal wajah semua umat.”
Itu pertama kalinya ada yang menyebut namanya dengan suara hangat.
Sejak itu, setiap kali ada kegiatan gereja, Romo Andi selalu menyapa Rina. Bukan dengan tatapan iba, tapi dengan kepercayaan. Suatu hari, Rina nekat bertanya, “Romo tahu saya siapa?” Dan Romo Andi hanya menjawab, “Saya tahu. Tapi Tuhan juga tahu, dan Dia tetap mencintaimu. Saya hanya ikut Tuhan.”
Jawaban itu merobohkan tembok yang selama ini Rina bangun dalam dirinya.
Hari-hari berlalu. Rina mulai sering bantu di taman pastoran. Tanam bunga, bersihkan halaman, kadang bawakan nasi goreng kalau Romo lagi rapat sampai malam. Hubungan mereka tidak pernah melampaui batas. Tapi semua orang tahu, ada sesuatu yang berbeda.
Anak-anak remaja mulai bergosip. Orang tua pasang wajah sinis. Bahkan ketua lingkungan sempat bilang, “Hati-hati, Romo. Perempuan macam itu bisa jadi batu sandungan."
Romo Andi hanya diam. Tapi Rina mulai gelisah. Ia takut menjadi alasan seorang imam kehilangan panggilannya. Ia tidak pernah meminta cinta itu datang. Tapi cinta tidak pernah minta izin.
Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam di balik bukit, Rina bicara jujur.
“Romo, kalau saya memang gangguan buat panggilan Romo, saya bisa berhenti datang ke gereja. Saya bisa pergi dari sini.”
Romo Andi menatapnya lama. Angin sore meniup lembut rambut Rina.
“Rina,” katanya pelan. “Yang terlarang bukan cintanya, tapi kalau cinta itu membuat kita saling jatuh dalam dosa.”
Rina terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Saya mencintaimu dalam doa. Bukan di pelukan. Karena cinta yang benar, justru melindungi, bukan memiliki.”
Sejak saat itu, mereka menjaga jarak. Tidak lagi sering bertemu di taman. Tidak lagi ada nasi goreng tengah malam. Tapi cinta itu tidak hilang. Ia tetap tumbuh dalam diam. Dalam saling mendoakan. Dalam saling jaga, bukan saling rebut. Rina tetap datang ke gereja. Kini ia duduk di bangku agak depan. Orang-orang mulai melihatnya berbeda. Bukan karena Romo Andi membelanya, tapi karena Rina membuktikan sendiri bahwa hidupnya bisa berubah—tanpa harus menyingkirkan luka lama.
Beberapa tahun kemudian, Romo Andi pindah tugas ke paroki lain. Waktu misa perpisahan, ia hanya berkata:
“Ada cinta yang harus dilepaskan agar tetap suci. Dan ada orang yang harus dijaga dari jauh agar tetap kuat. Terima kasih, Rina.”
Rina tidak menangis. Ia hanya menunduk, memeluk salib kecil di lehernya. Ia tahu, cinta ini tidak akan pernah jadi miliknya. Tapi cinta ini telah menyelamatkannya.
Di ujung kampung, di taman kecil dekat gereja, bunga-bunga yang dulu ia tanam bersama Romo Andi masih mekar. Dan setiap kali Rina menyiramnya, ia membisikkan doa yang sama:
“Tuhan, jaga dia, seperti dulu ia menjaga imannya.”
#danke
Komentar
Posting Komentar